Etika dalam membuat promosi yang baik

Dalam suatu kegiatan bisnis atau perdagangan pada dasarnya pasti membutuhkan suatu kegiatan yang dinimakan kegiatan promosi. Promosi selalu menjadi unsur penting untuk menjual barang dan jasa dalam waktu yang cepat. perusahaan tidak hanya menjual barang dan jasa yang bersifat instan, tetapi lebih pada daya menanamkan brand image yang kuat. Daya pengaruh untuk menguatkan dan mengukuhkan brand dalam ingatan konsumen selalu menggunakan media massa baik cetak maupun elektronik. Karena media massa adalah sarana paling efektif untuk menjangkau konsumen dengan mudah dan dalam waktu yang cepat.

Berpromosi yang efektif ada caranya. Salah satu prinsipnya adalah dengan memfokuskan isi pesan yang ingin anda sampaikan.

Mari kita belajar dari iklan dan promosi di sekeliling kita. Bisa dikatakan promosi yang sukses adalah yang memiliki satu pesan. Satu promosi berisi satu pesan. Tujuannya supaya pesan yang disampaikan tidak "bersaing" atau dikaburkan oleh pesan-pesan lainnya.

Jadi, kuncinya memfokuskan pesan yang ingin anda sampaikan. Kalau anda menjual suatu produk, anda promosikan dengan HANYA menciptakan satu pesan saja. Anda bisa rasakan perbedaan efek promosi yang berpesan banyak dengan hanya satu pesan kan?

Etika dalam membuat produksi

Dalam setiap kegiatan pastinya ada etika dalam melakukannya, begitu pula dalam berproduksi. Jadi etika dalam berproduksi harus diperhatikan, seperti contohnya : beberapa waktu lalu, reportase investigasi menyajikan cara pembuatan madu oleh seseorang yang tidak beretika, karena pembuatan madu tersebut dibuat dengan menggunakan acid dan cairan-cairan kimia yang berbahaya bagi manusia. Nah, seharusnya itu tidak terjadi karena itu tidak terpuji, pembutan madu yang sebenarnya melalui beberapa proses yang cukup panjang sehingga menghasikan madu yang berkualitas.

Etika dalam islam juga mengajarkan bahwa, cara berdagang dan berproduksi itu harus dilandaskan dengan kejujuran, norma-norma dan tidak lepas dari unsur kemanusiaan.

Berbicara mengenai nilai dan norma maka erat kaitannya dengan pembahasan mengenai etika. Menelusuri asal usul etika tak lepas dari asli kata ethos dalam bahasa Yunani yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter (character).

Dalam pengertian yang lebih luas, etika diartikan sebagai The systematic study of the nature of value concepts, good, bad, ought, right, wrong, etc. and of the general principles which justifyus in applying them to anything; also called moral philosophy.
Artinya bahwa etika merupakan studi sistematis tentang tabiat, konsep nilai, baik, buruk, harus, benar, salah, atau lain sebagainya dengan prinsip-prinsip umum yang kita untuk mengaplikasikannya atas apa saja.

Etika Usaha melaui Tata Kelola

Bukan rahasia jika perusahaan multinasional di Indonesia terlihat lebih besar, gagah, dan seolah tidak terjangkau. Itulah kesan yang sering muncul, menyusul lemahnya posisi tawar masyarakat dan pemerintah ketika berhadapan dengan perusahaan multinasional tersebut.

Oleh karena itu pula, penerapan good governance (tata kelola) dalam etika bisnis selalu menghadapi tantangan. Hal itu juga diungkapkan Ketua Dewan Penasihat IMA Chapter Jabar yang sekaligus Sekda Jabar, Lex Laksamana.

Menurut dia, good governance penting diterapkan, karena dengan tata kelola pemerintahan yang baik maka praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam bisnis dapat diminimalkan.

Namun, penerapan good governance itu memiliki banyak tantangan. "Saat ini, masih ada saja keengganan pemerintah untuk membuka ruang partisipasi publik dan rendahnya daya beli masyarakat yang membuat penerapan good governance ini sulit dijalankan. Terlebih lagi, kekurangtahuan aktor dalam penerapan etikanya,"ujarnya.

Direktur Pengawasan Internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chesna Fizetty Anwar menambahkan, apabila penegakan regulasi dalam bisnis dapat berjalan dengan baik dan konsisten, aktivitas bisnis yang dijalankan pelaku usaha tentunya dapat berjalan baik serta etika usaha akan tumbuh dan berkembang. "Inilah yang diterapkan dalam paradigma pelaku usaha sekarang," katanya seraya mengakui banyaknya skandal bisnis yang terjadi karena kurangnya penerapan good governance yang baik. Karena, good coorporatc governance ini menjadi salah satu sustainable competitive advantage," katanya.

Sebaliknya, banyak perusahaan-perusahaan besar yang bangkrut atau sekadar 'hidup segan mati pun tak mau karena penerapan good corporate governance dan etika bisnisnya yang tidak konsisten. Ini menunjukkan lemahnya komitmen dan kepemimpinan dan tidak dipakainya instrumen di dalam penerapan etika bisnis.

Sementara itu, Dewan Penasihat IMA Chapter Jabar, yang juga Sekda Kota Bandung, Edi Siswadi menuturkan, karakteristik good governance secara legitimasi dapat dilihat dari sisitem pemerintahannya, bagaimana jalannya pemerintahan. Lalu secara akuntabilitas dilihat dari eksistensi mekanisme keyakinan politik pemerintah terhadap aksi perbuatannya dalam menggunakan sumber publik dan performa perilakunya. Dengan kompetensi, pemerintah dalam membuat kebijakan harus berpatokan kepada pelayanan publik yang efisien dan kapabilitas manajemen publik yang tinggi.

"Selama ini problematika penerapan good governance di Kota Bandung sendiri adalah kurangnya pelayanan publik, kapabilitas kebijakan yang rendah, manajemen keuangan yang lemah, peraturan dan prosedur pelayanan yang sangat birokratis serta inefisiensi alokasi sumber sumber publik. Ini yang menghambat pelaksanaan good governance dan akibatnya bisa fatal, karena membuat pengentasan kemiskinan justru tidak berjalan, karena porgram dan projek yang seharusnya mengentaskan kemiskinan justru menjadi sarang KKN," ungkapnya.

Penyebab terjadinya tata kelola pemerintahan yang buruk itu dikarenakan sekarang sistem pemerintahan yang berjalan menganut sentralisasi yang buruk. Perlu adanya pergeseran sistem pemerintahan ke desentralisasi partisipatif yang memunculkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sehingga mampu menimbulkan pemerintahan yang baik, demokratis dan partisipasif, hingga nantinya ada pemerataan.

Akibat birokrasi pemerintahan yang terlalu terpatok pada nilai patrondient administrasi di negara berkembang seperti Indonesia sangat lambat dan semakin birokratik. Ini membuat semangat pegawai dan kinerja menjadi rendah.

Berdasarkan studi tata kelola pemerintahan yang dilakukan Gupta, Davoodi dan Alonso Terne, good governance yang buruk dan naiknya angka KKN sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan turunnya peringkat pendapatan dari 20% penduduk termiskin sebesar 7,8% per tahun. Dan di negara yang tingkat KKN-nya tinggi biasanya tingkat kesehatannya dan pendidikannya sangat rendah.

"Jika partisipasinya sudah melembaga, pemerintah lokal yang menganut asas tata kelola pemerintahan yang baik dapat menghasilkan pelayanan yang baik," tuturnya.

Jika melihat kondisi empiris tata kelola pemerintahan yang dijalankan sekarang, Edi mengatakan, otonomi daerah telah meningkatkan ketidakpastian usaha dan membengkaknya biaya usaha di tingkat lokal, karena di daerah yang memiliki tata kelola pemerintahan yang lebih baik, frekuensi pembayaran imbalannya berkurang danini akan mengurangi KKN. "Kalau berbicara good governance, kita lihat dari perizinan saja, lamanya perizinan yang terjadi dikarenakan saat inikhususnya Kota Bandung masih banyak yang belum berjalan satu atap. Seharusnya dengan satu atap kita bisa mengefisiensikan kinerja pelayanan," katanya.

Indeks persepsi korupsi 2006 menunjukkan Indonesia berada di urutan 130 dari 163 negara yang masuk ke dalam survei index persepsi ini, dengan CPI Score 2,4. Skor ini hanya naik 0,2 poin dari sebelumnya pada 2005. Jika melihat hasil dari survei tersebut, ini masih mencerminkan persepsi masyarakat yang mayoritas pebisnis suatu negara atau orang asing yang melakukan bisnis di negara tersebut terhadap tingkat korupsi suatu bangsa. Indeks ini bukanlah mencerminkan tingkat korupsi yang sebenarnya, namun tingkat korupsi yang terpersepsikan oleh para pelaku bisnis. Artinya tingkat korupsi di Indonesia dipandang para pebisnis luar masih tinggi, ini yang menghalangi masuknya investor.

Kalau diumpamakan suatu wilayah, korupsi adalah wilayah hitam, yaitu wilayah yang secara etika jelas-jelas tidak diterima. Berhadapan dengan wilayah hitam adalah wilayah putih, yaitu wilayah yang secara etika dapat diterima.

Nah, di antara wilayah hitam dan putih itu ada wilayah abu-abu. Di situlah dilema etika berada. Korupsi, jelas tidak ada dilemanya, lha wong sudah jelas-jelas berstatus haram. Hukumnya jelas dan gampang dibedakan. Perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.

KPK menjelaskan, nilai-nilai perusahaan atau pemerintahan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perasahaan/pemer-intahan itu sendiri, yang nantinya akan menciptakan nilai-nilai.

Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah honesty (kejujuran), respect on the rule of law (taat asas/peraturan), trust (kepercayaan, dapat dipercaya), common sense (kepatutan dan kepantasan), serta menghargai HAM.

Etika bisnis sendiri merupakan bagian integral dari nilai-nilai good governance yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kesetaraan dan kewajaran.

Nilai-nilai ini yang nantinya akan mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan dan undang-undang. Dan penerapannya tentu saja tidak bisa berdiri sendiri perlu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.

Dunia usaha berperan menerapkan good governance ini dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan.

Persaingan Teknologi CDMA dan GSM

Persaingan Teknologi CDMA dan GSM

MASYARAKAT mulai merasakan manfaat kompetisi di sektor telekomunikasi dan persaingan teknologi serta persaingan
bisnis antar-operator memberi alternatif pilihan yang menguntungkan. Dengan masuknya Telkomflexi yang berbasis
teknologi CDMA (code division multiple access), maka sekarang masyarakat dapat menikmati layanan telepon seluler
dengan tarif telepon tetap PSTN. Jadi telepon seluler bukan barang mewah lagi.

DALAM menangani persaingan ini, peranan dan konsistensi regulator benar diuji. Yaitu bagaimana kebijakan dan
kebijaksanaan regulasi sektor telekomunikasi untuk mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan para pemain
bisnis.

Permasalahan utama pemerintah selama ini adalah bagaimana mempercepat penambahan infrastruktur telekomunikasi
di Indonesia. Kepadatan telepon (teledensitas) sampai saat ini baru 3,7 persen, atau rata-rata tiga telepon di antara
seratus penduduk. Tentunya angka ini akan lebih kecil lagi untuk di daerah-daerah pedesaan atau daerah terpencil yang
bisa hanya mencapai 0,01 persen saja. Diperlukan terobosan-terobosan teknologi dan regulasi untuk mendongkrak
angka teledensitas Indonesia yang sudah jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita.

Di Indonesia, liberalisasi bisnis seluler dimulai sejak tahun 1995, saat pemerintah mulai membuka kesempatan kepada
swasta untuk berbisnis telepon seluler dengan cara kompetisi penuh. Bisa diperhatikan, bagaimana ketika teknologi GSM
(global system for mobile) datang dan menggantikan teknologi seluler generasi pertama yang sudah masuk sebelumnya
ke Indonesia seperti NMT (nordic mobile telephone) dan AMPS (advance mobile phone system)

Teknologi GSM lebih unggul, kapasitas jaringan lebih tinggi, karena efisiensi di spektrum frekuensi. Sekarang, dalam
kurun waktu hampir satu dekade, teknologi GSM telah menguasai pasar dengan jumlah pelanggan lebih dari jumlah
pelanggan telepon tetap. Tren ini akan berjalan terus karena di samping fitur-fiturnya lebih menarik, telepon seluler masih
merupakan prestise, khususnya bagi masyarakat Indonesia.

Namun, sampai saat ini telepon seluler masih merupakan barang mewah, tidak semua lapisan masyarakat bisa
menikmatinya. Tarifnya masih sangat tinggi dibandingkan dengan telepon tetap PSTN (public switched telephone
network), baik untuk komunikasi lokal maupun SLJJ (sambungan langsung jarak jauh), ada yang mencapai Rp 4.500 per
menit flat rate untuk komunikasi SLJJ.

Namun, berapa pun tarif yang ditawarkan operator seluler GSM, karena tidak ada pilihan lain, apa boleh buat, diambil juga.
Terutama karena telepon PSTN tidak bisa diharapkan. Jadi, masuknya CDMA menjanjikan solusi teknologi yang ekonomis
untuk memenuhi kewajiban pemerintah dalam mempercepat penambahan PSTN. Apalagi, CDMA datang dengan
teknologi seluler 3G, yang menawarkan fitur-fitur yang lebih canggih dibandingkan dengan teknologi GSM. Keunggulan ini
sekaligus dapat memenuhi kebutuhan gaya hidup masyarakat modern.

Mengapa CDMA bisa murah?

Suatu kali seorang mahasiswa di lift tiba-tiba mengajukan pertanyaan itu dan saya hanya berkometar, jangan-jangan GSM
yang kemahalan. CDMA datang dengan harga 200 dollar AS per SST (satuan sambungan telepon), jauh lebih murah
dibandingkan dengan teknologi akses lainnya selama ini di Indonesia sehingga PT Telkom berani memberikan tarif
murah. Padahal, CDMA lebih canggih dan lebih unggul dibandingkan dengan GSM.

Kalau begitu, perlu dipertanyakan kembali bagaimana sebenarnya iklim bisnis seluler GSM selama ini termasuk
pemain-pemain yang berperan dibalik semua itu. Mulai dari vendor, operator, dan regulator, siapakah yang paling
diuntungkan, meski yang jelas bukan masyarakat sebagai konsumen.

Apalagi jika diperhatikan skema kerja sama antara vendor dengan para operator dalam pola pengadaan atau pembelian
teknologi. Pedihnya lagi, adakah transfer teknologi yang berarti buat negara kita? Sudah hampir satu dekade, vendor-
vendor teknologi jaringan GSM masuk dan berbisnis di Indonesia, kenyataannya kita hanya dijadikan pembeli dan
pemakai teknologi semata.

Sekarang dengan masuknya teknologi CDMA dari kubu lain dengan pelaku bisnis baru apakah itu dari Amerika, Jepang,
Korea, atau Cina, diharapkan iklim bisnisnya akan lebih terbuka. Perlu dicermati apakah ada itikad baik pemain baru itu
untuk meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia kita.

Tentu pemerintah dan para operator harus mempunyai kekuatan negosiasi yang kuat, jangan sampai mereka datang
dengan sederet permintaan dan syarat untuk memudahkan mereka berbisnis, sementara kita tidak tahu mau minta apa
kepada negara mereka. Meskipun kita tak mempunyai keunggulan kompetitif dalam teknologi ini, tetapi potensi pasar yang
menjanjikan, bisa dijadikan kekuatan tawar, misalnya untuk memperjuangkan transfer teknologi yang nyata. Hal lain yang
perlu dicermati adalah jangan sampai terjadi ketergantungan pada satu atau dua vendor seperti pengalaman kita
terdahulu dengan Siemens.

Dari aspek teknologi, baik GSM atau CDMA merupakan standar teknologi seluler digital, hanya bedanya GSM
dikembangkan oleh negara-negara Eropa, sedangkan CDMA dari kubu Amerika dan Jepang. Tetapi perlu diperhatikan
bahwa teknologi GSM dan CDMA berasal dari jalur yang berbeda sehingga perkembangan ke generasi 2,5G dan 3G
berikutnya akan berbeda terus seperti bisa dilihat pada skema.

Oleh karena itu, kita harus hati-hati memilih teknologi. Ketika kita memilih CDMA, maka selanjutnya harus mengikuti jalur
up-grade CDMA terus. Perlu diingat, up-grade jaringan dalam satu jalur teknologi akan lebih gampang dan lebih murah
dibandingkan migrasi ke teknologi lain.

Kinerja jaringan merupakan kriteria berikutnya yang harus diperhatikan dalam pemilihan teknologi. Kinerja jaringan seluler
sangat tergantung efisiensi pemakaian spektrum frekuensi dan sensivitas terhadap interferensi karena spektrum
frekuensi merupakan sumber daya yang sangat terbatas.

Untuk meningkatkan efisiensi spektrum frekuensi, maka dilakukan teknik penggunaan kembali frekuensi re-used,
mempergunakan kembali frekuensi yang sama pada sel lainnya pada jarak tertentu supaya tidak terjadi interferensi.
Teknologi CDMA memiliki kapasitas jaringan yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi GSM dan frekuensi yang
sama dapat dipergunakan pada setiap sel yang berdekatan atau bersebelahan sekalipun.
Teknologi CDMA didesain tidak peka terhadap interferensi. Di samping itu, sejumlah pelanggan dalam satu sel dapat
mengakses pita spektrum frekuensi secara bersamaan karena mempergunakan teknik pengkodean yang tidak bisa
dilakukan pada teknologi GSM.

Mobilitas terbatas

Mobilitas merupakan keunggulan utama teknologi seluler dibandingkan telepon tetap. Setiap pelanggan dapat
mengakses jaringan untuk melakukan komunikasi dari mana saja dan di sini letak perbedaan dengan telepon tetap.
Konsep desain teknologi seluler menjamin mobilitas setiap pelanggan untuk melakukan komunikasi kapan pun dan di
mana pun dia berada. Jadi dari aspek teknologi, tidak ada batasan mobiltas pelanggan bahkan jelajah (roaming)
internasional dapat dilakukan.

Kalau dilakukan pembatasan, apalagi jika dibatasi penggunaan teknologi itu hanya dalam satu sel, pelanggan hanya bisa
melakukan komunikasi atau mempergunakan teleponnya dalam daerah cakupan BTS (base transceiver station) di mana
dia berlangganan.

Untuk Jakarta tentu sangat tidak efektif dan tidak efisien karena misalnya pelanggan yang punya rumah di Jakarta Timur,
bekerja di Jakarta Pusat, atau belanja ke Glodok, teleponnya sudah tidak bisa dipergunakan. Di samping itu, pembatasan
ini bisa dimanfaatkan operator untuk menambah biaya roaming antarsel yang tentu akan merugikan, mempersulit, atau
membodohi masyarakat. Jangan sampai karena persaingan bisnis para operator lalu masyarakat dikorbankan. Jika
pembatasan tetap ingin dilakukan, tentu perlu dipikirkan batasan yang wajar. Misalnya, batasan cakupan meliputi
Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi).

Kejadian ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dihadapi India sekitar tahun 2000 ketika para operator GSM khawatir
bisnis mereka terancam saat CDMA masuk. Pemerintah memberikan izin teknologi seluler CDMA-WLL dioperasikan untuk
mempercepat infrastruktur PSTN mereka, untuk mencapai target 7 persen teledensitas pada tahun 2005 mendatang.
Sampai sekarang, Pemerintah India tetap konsisten mempertahankan teknologi CDMA, dengan mobilitas tetap dibatasi,
tetapi daerah cakupan cukup luas yaitu kira-kira satu provinsi.

Menghadapi persaingan bisnis yang makin sengit dan siklus serta persaingan teknologi yang makin cepat, dalam
menentukan kebijakan dan kebijaksanaannya, regulator harus melihat dari segala sudut pandang dengan suatu kajian
yang komprehensif, tidak parsial. Dan yang lebih penting lagi, harus mampu mengantisipasi segala perubahan yang
mungkin terjadi supaya tidak ketinggalan terus.

Dengan adanya konvergensi teknologi telekomunikasi dengan teknologi informasi, kebijakan lisensi seharusnya tidak lagi
tergantung teknologi maupun jasa. Setiap operator bebas memilih teknologi yang paling ekonomis dan cocok untuk
meningkatkan daya saing mereka, agar bisa menawarkan jasa kepada masyarakat dengan tarif yang rendah. Regulator
benar-benar harus independen, tidak memihak kepada teknologi atau vendor mana pun.

Lebih jauh lagi, liberalisasi sektor ini menuntut regulator untuk menjaga kesinambungan layanan kepada masyarakat,
jangan sampai terjadi cherry picking yang mungkin dilakukan oleh pemain-pemain baru. Saat mereka terjepit, mereka
begitu saja berangkat tanpa memiliki tanggung jawab moral kepada masyarakat.
Biasanya kasus ini terjadi pada negara-negara berkembang di mana hukum dan regulasi masih sangat lemah, seperti
pernah terjadi di India sehingga langkah-langkah strategis perlu dipersiapkan baik oleh regulator maupun operator.
Misalnya untuk mengantisipasi persaingan, sebaiknya operator GSM mulai memikirkan alternatif solusi teknologi apakah
up-grade atau migrasi.

Oleh karena itu, peran pemerintah dan regulator tetap sangat dibutuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat suatu
negara terutama dalam masa transisi dari monopoli ke kompetisi. Bagi negara kita, yang sampai saat ini hanya jadi
pembeli dan pemakai teknologi tersebut, tentu harus pintar- pintar memilih teknologi yang paling ekonomis dan cocok
dengan kebutuhan dan kemampuan ekonomi masyarakat.
Jangan sampai terpaku pada suatu teknologi atau pada satu-dua vendor saja. Kita harus bisa mobile secara bebas, tidak
limited mobility.

Sumber: Kompas Cyber Media

tugas ke-2, etika bisnis dalam sudut moral agama

Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas).

Salah satu sumber rujukan etika dalam bisnis adalah etika yang bersumber dari tokoh teladan agung manusia di dunia, yaitu Rasulullah SAW. Beliau telah memiliki banyak panduan etika untuk praktek bisnis kita, yaitu :

Pertama, kejujuran. Kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: "Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya," (H.R. Al-Quzwani). "Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami," (H.R. Muslim).

Kedua, menolong atau memberi manfaat kepada orang lain, kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.

Ketiga, tidak boleh menipu, takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: "Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi". (QS 83: 112).
http://www.muslimdaily.net/berita/ekonomi/4093/etika-bisnis-rasulullah